IMPLEMENTASI PENDIDIKAN INKLUSIF DI INDONESIA
Oleh:
Nurliah
Abstrak
Pendidikan inklusif adalah sistem layanan pendidikan yang mengatur agar difabel dapat dilayani di sekolah terdekat, di kelas reguler bersama-sama teman seusianya. Tanpa harus dikhususkan kelasnya, siswa dapat belajar bersama dengan aksesibilitas yang mendukung untuk siswa tanpa terkecuali difabel. Tujuan dalam penulisan ini adalah mendeskripsikan pendidikan inklusif, serta melihat seperti apa implementasi pendidikan inklusif di Indonesia. Analisis implementasi pendidikan inklusif di sekolah reguler dalam artikel ilmiah pada tulisan ini dilakukan analisis pustaka. Sebagai alat bantu untuk mendeskripsikan pengimplementasian pendidikan inklusif di Indonesia. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa di Indonesia pendidikan inklusif belum mendapat tanggapan serius dari berbagai pihak, oleh karena itu memerlukan sosialisasi yang memberikan kejelasan pentingnya hal ini.
Kata kunci:
Implementasi, pendidikan inklusif
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pendidikan merupakan kebutuhan manusia
yang sangat penting karena pendidikan memiliki tugas untuk menyiapkan sumber
daya manusia bagi pembangunan bangsa dan negara. Pendidikan juga merupakan hak
semua manusia, artinya pendidikan dilaksanakan tidak memandang perbedaan, baik
dari sudut pandang status sosial, agama, suku, ras, fisik, dan bangsa.
Di dalam Undang-Undang Dasar 1945
pasal 31 ayat 1 berbunyi “setiap warga negara berhak mendapat pendidikan”.
Berdasarkan ayat tersebut jelas bahwa pemerintah memberikan kesempatan kepada semua
warga negara untuk memperoleh pendidikan
yang layak. Tidak hanya orang dewasa, remaja, dan anak-anak yang normal tetapi
anak berkebutuhan khusus (ABK) pun juga berhak mendapatkan pendidikan.
Pendidikan inklusi bertujuan agar anak-anak
yang berkebutuhan khusus dapat bersekolah di sekolah formal, dapat hidup
seperti anak-anak normal lainnya, belajar bersama serta bersosialisasi dengan
teman sebaya mereka tanpa hambatan.
B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang akan dibahas
dalam tulisan ini, yaitu bagaimana implementasi pendidikan inklusi di
Indonesia?
C. Tujuan
Tujuan dalam penulisan ini diharapkan
mampu memberi gambaran mengenai pengimplementasian pendidikan inklusi di
Indonesia.
D. Manfaat
Manfaat
dari penulisan ini agar para pembaca dapat menambah wawasan tentang
implementasi pendidikan inklusi di sekolah reguler khususnya di Indonesia.
II. KAJIAN PUSTAKA
Pendidikan merupakan kebutuhan dasar setiap
manusia untuk menjamin keberlangsungan hidupnya agar lebih bermartabat. Karena
itu negara memiliki kewajiban untuk memberikan pelayanan pendidikan yang
bermutu kepada setiap warganya tanpa terkecuali termasuk mereka yang memiliki
perbedaan dalam kemampuan (difabel).
Sekolah inklusi adalah sekolah reguler
tetapi menerima anak berkebutuhan khusus (ABK) dan menyediakan sistem layanan
pendidikan yang disesuaikan dengan kebutuhan anak tanpa kebutuhan khusus (ATBK)
dan ABK melalui adaptasi kurikulum, pembelajaran, penilaian, dan sarana dan
prasarananya. Pendidikan inklusif merupakan pendidikan yang sangat menekankan
hak asasi manusia pada seluruh siswa baik itu normal dan anak berkebutuhan khusus
(ABK). Pendidikan inklusif memiliki prinsip dasar bahwa selama memungkinkan,
semua anak sepatutnya belajar bersama-sama tanpa memandang kesulitan atau
perbedaan yang mungkin ada pada diri mereka.
Tujuan
pendidikan inklusif adalah:
a. Memberikan
kesempatan seluas-luasnya kepada semua peserta didik yang memiliki kelainan
fisik, emosional, mental, dan sosial atau memiliki potensi kecerdasan atau
bakat istimewa untuk memperoleh pendidikan yang bermutu sesuai dengan kebutuhan
dan kemampuannya.
b. Menciptakan
sistem pendidikan yang menghargai keanekaragaman, tidak diskriminatif bagi
semua peserta didik, serta ramah terhadap pembelajaran.
c. Membantu
mempercepat program wajib belajar pendidikan dasar.
d. Membantu
meningkatkan mutu pendidikan dasar dan menengah dengan menekan angka tinggal
kelas dan putus sekolah.
e. Memenuhi
amanat Undang-Undang Dasar 1945 khususnya pasal 31 ayat 1 yang berbunyi “setiap
warga negara berhak mendapat pendidikan” dan ayat 2 yang berbunyi “setiap warga
negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya”.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, khususnya
pasal 5 ayat 1 yang berbunyi “setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk
memperoleh pendidikan yang bermutu”. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak, khususnya pasal 51 yang berbunyi “anak yang menyandang cacat
fisik atau mental diberikan kesempatan yang sama dan aksebilitas untuk
memperoleh pendidikan biasa dan luar biasa.
Tujuan praktis yang ingin dicapai dalam
pendidikan inklusi meliputi tujuan langsung oleh anak, oleh guru, oleh orang
tua, dan oleh masyarakat.
a. Tujuan
yang ingin dicapai oleh anak dalam mengikuti kegiatan belajar dalam inklusi
antara lain adalah:
1)
Berkembangnya kepercayaan pada diri anak,
merasa bangga pada diri sendiri atas prestasi yang diperolehnya.
2)
Anak dapat belajar secara mandiri, dengan
mencoba memahami dan menerapkan pelajaran yang diperolehnya di sekolah ke dalam
kehidupan sehari-hari.
3)
Anak mampu berinteraksi secara aktif bersama
teman-temannya, guru, sekolah, dan masyarakat.
4)
Anak dapat belajar untuk menerima adanya
perbedaan, dan mampu beradaptasi dalam mengatasi perbedaan tersebut.
b. Tujuan
yang ingin dicapai oleh guru-guru dalam melaksanakan pendidikan inklusi antara
lain adalah:
1)
Guru akan memperoleh kesempatan belajar dari
cara mengajar dengan setting inklusi.
2)
Terampil dalam melakukan pembelajaran kepada
peserta didik yang memiliki latar belakang beragam.
3)
Mampu mengatasi berbagai tantangan dalam
memberikan layanan kepada semua anak.
4)
Bersikap positif terhadap orang tua,
masyarakat, dan anak dalam situasi beragam.
5)
Mempunyai peluang untuk menggali dan
mengembangkan serta mengaplikasikan berbagai gagasan baru melalui komunikasi
dengan anak di lingkungan sekolah dan masyarakat.
c. Tujuan
yang akan dicapai bagi orang tua antara lain adalah:
1) Para
orang tua dapat belajar lebih banyak tentang bagaimana cara mendidik dan
membimbing anaknya lebih baik di rumah, dengan menggunakan teknik yang
digunakan guru di sekolah.
2) Mereka
secara pribadi terlibat, dan akan merasakan keberadaannya menjadi lebih penting
dalam membantu anak untuk belajar.
3) Orang
tua akan merasa dihargai, merasa dirinya sebagai mitra sejajar dalam memberikan
kesempatan belajar yang berkualitas kepada anaknya.
4) Orang
tua mengetahui bahwa anaknya dan semua anak yang di sekolah, menerima
pendidikan yang berkualitas sesuai dengan kemampuan masing-masing individu
anak.
d. Tujuan
yang diharapkan dapat dicapai oleh masyarakat dalam pelaksanaan pendidikan
inklusif antara lain adalah:
1) Masyarakat
akan merasakan suatu kebanggaan karena lebih banyak anak mengikuti pendidikan
di sekolah yang ada di lingkungannya.
2) Semua
anak yang ada di masyarakat akan terangkat dan menjadi sumber daya yang
potensial, yang akan lebih penting adalah bahwa masyarakat akan lebih terlibat
di sekolah dalam rangka menciptakan hubungan yang lebih baik antara sekolah dan
masyarakat. (Tarmansyah, dalam situs file:///D:/DOWNLOAD/bab%202%20-NIM%2008101241028.pdf)
Oleh karena itu, anak berkebutuhan khusus
harus memperoleh pendidikan yang layak seperti halnya teman sebayanya yang
berada di sekolah reguler. Anak berkebutuhan khusus yang dimaksud di sini
adalah anak dengan karakteristik khusus yang berbeda pada umumnya. Kriteria
anak yang tergolong berkebutuhan khusus (ABK) di antaranya yaitu:
a. Anak
Lambat Belajar (slow learner)
Anak lambat belajar (slow learner) adalah
anak yang memiliki potensi intelektual sedikit di bawah normal tetapi belum
termasuk tunagrahita. Dalam beberapa hal mereka mengalami hambatan atau
keterlambatan berpikir, merespon rangsangan dan adaptasi sosial, tetapi masih
jauh lebih baik dibanding dengan tunagrahita, lebih lambat dibanding dengan
anak yang normal. Mereka butuh waktu yang lebih lama dan berulang-ulang untuk
dapat menyelesaikan tugas-tugas akademik maupun non akademik, sehingga memerlukan
pelayanan pendidikan khusus.
Anak lambat belajar memiliki ciri fisik
normal, tapi saat di sekolah mereka sulit menangkap materi, responnya lambat,
dan kosa kata berkurang. Dari sisi perilaku, mereka cenderung pendiam dan
pemalu, dan mereka kesulitan untuk berteman. Anak-anak lambat belajar (slow
learner) ini juga cenderung kurang percaya diri. Kemampuan berpikir abstraknya
lebih rendah dibandingkan dengan anak pada umumnya.
Karakterikstik
dari individu yang mengalami slow learner:
1) Fungsi
kemampuan di bawah rata-rata pada umumnya.
2)
Memiliki kecanggungan dalam kemampuan
menjalin hubungan intrapersonal.
3)
Memiliki kesulitan dalam melakukan perintah
yang bertahap.
4)
Tidak memilki tujuan dalam menjalani
kehidupannya.
5)
Memiliki berbagai kesulitan internal seperti
keterampilan mengorganisasikan dan menyimpulkan informasi.
6)
Memiliki skor yang rendah dengan konsisten
dalam beberapa tes.
7)
Memiliki pandangan mengenai dirinya yang
buruk.
8)
Mengerjakan segalanya secara lambat.
9)
Lambat dalam penguasaan terhadap sesuatu.
b. Tunagrahita
(retardasi mental)
Tunagrahita adalah istilah yang digunakan
untuk menyambut anak yang mempunyai kemampuan intelektual di bawah rata-rata.
Tunagrahita juga dikenal dengan istilah terbelakang mental atau retardasi
mental karena keterbatasan kecerdasannya mengakibatkan dirinya untuk sukar
mengikuti program pendidikan di sekolah biasa, oleh karena itu anak tunagrahita
membutuhkan pendidikan yang memiliki layanan secara khusus yakni dengan
kemampuan anak tersebut.
Edgar Doll sebagaimana diungkapkan kembali
oleh Sutjihati Somantri dalam situs file:///D:/DOWNLOAD/jipptumg--achsyaifud-2381-2-(15)bab-2.pd,
berpendapat seorang dikatakan tunagrahita jika:
1) Secara
sosial tidak cakap.
2)
Secara mental di bawah normal.
3)
Kecerdasannya terhambat sejak lahir atau
pada usia muda.
4) Kematangan
terhambat.
Berdasarkan hasil tes IQ (skala weschler)
tunagrahita atau keterbelakangan mental dapat dibagi menjadi:
1) Keterbelakangan
mental ringan (IQ=55-69)
2)
Keterbelakangan mental sedang (IQ=40-54)
3)
Keterbelakangan mental berat (IQ=25-39)
4) Keterbelakangan
mental sangat berat (IQ=24 ke bawah)
Pengelompokkan
tunagrahita berdasarkan kelainan jasmani (tipe klinis):
1) Down syndrome (mongoloid)
adalah anak tunagrahita jenis ini disebut demikian karena memiliki raut muka
menyerupai orang mongol dengan mata sipit dan miring, lidah tebal suka menjulur
keluar, telinga kecil, kulit kasar, susunan gigi kurang baik.
2)
Kretin (cebol)
adalah anak ini memperlihatkan ciri-ciri, seperti badan gemuk dan pendek, kaki
dan tangan pendek dan bengkok, kulit kering, tebal dan keriput, rambut kering,
lidah dan bibir, kelopak mata, telapak tangan dan kaki tebal, pertumbuhan gigi lambat.
3)
Hydrocephal
adalah anak ini memiliki ciri-ciri kepala besar, raut muka kecil, pandangan dan
pendengaran tidak sempurna, mata kadang-kadang juling.
4)
Microcephal adalah
anak ini memiliki ukuran kepala yang kecil.
5)
Macrocephal
adalah anak ini memiliki ukuran kepala yang besar dari ukuran normal.
c. Kesulitan
Belajar
Kesulitan belajar atau learning disabilities merupakan istilah yang merujuk pada keragaman
kelompok yang mengalami gangguan di mana gangguan tersebut diwujudkan dalam
kesulitan-kesulitan yang signifikan yang dapat menimbulkan gangguan proses
belajar (Sutjihati Somantri, dalam situs file:///D:/DOWNLOAD/jipptumg--achsyaifud-2381-2-(15)bab-2.pd).
Menurut Jeffry dkk. dalam situs file:///D:/DOWNLOAD/jipptumg--achsyaifud-2381-2-(15)bab-2.pd tipe-tipe
gangguan belajar:
1) Gangguan
matematika (diskakulia)
Gangguan matematika
menggambarkan anak-anak dengan kekurangan kemampuan aritmetika. Mereka dapat
memiliki masalah memahami istilah-istilah matematika dasar seperti operasi
penjumlahan dan pengurangan, memahami simbol-simbol matematika, atau belajar
tabel perkalian. Mengingat pentingnya kemampuan berhitung yang tidak lepas
dalam kehidupan sehari-hari maka hendaknya belajar berhitung ditangani sedini
mungkin. Mungkin masalah ini tampak sejak duduk di kelas 1 SD (6 tahun) tetapi
umumnya tidak dikenali sampai anak duduk di kelas 2 atau 3 SD.
2)
Gangguan menulis (disgrafia)
Gangguan menulis mengacu
pada anak-anak dengan keterbatasan pada kemampuan menulis, seperti kesalahan
mengeja, tata bahasa, tanda baca, atau kesulitan dalam bentuk kalimat dan
paragraf. Kesulitan menulis dapat disebabkan oleh beberapa faktor, salah satunya
adalah gangguan motorik halus misalnya cara memegang alat tulis dengan benar.
Oleh karena itu, kesulitan belajar menulis hendaknya ditangani sejak dini
mungkin agar tidak menimbulkan kesulitan bagi anak dalam mempelajari berbagai
mata pelajaran yang diajarkan di sekolah. Untuk dapat mengkomunikasikan pikiran
dalam bentuk tertulis, pertama-tama anak harus dapat menulis dengan mudah dan
dapat membaca. Kesulitan menulis yang parah umumnya tampak pada usia 7 tahun
(kelas 2 SD), walaupun kasus-kasus yang lebih ringan mungkin tidak dikenali
sampai usia 10 tahun (kelas 5 SD) atau setelahnya.
3)
Gangguan membaca (Disleksia)
Gangguan membaca atau
disleksia mengacu pada anak-anak yang memiliki perkembangan keterampilan yang
buruk dalam mengenali kata-kata dan memahami bacaan. Kemampuan membaca tidak
hanya merupakan dasar untuk menguasai berbagai bidang akademik, tetapi juga
pentingnya akan kemampuan membaca dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu,
seperti halnya kesulitan berhitung dan menulis kesulitan belajar membaca
hendaknya dideteksi dan ditangani sedini mungkin agar tidak menimbulkan
kesulitan bagi anak dalam mempelajari berbagai pelajaran yang diajarkan di sekolah.
Mereka memiliki kesulitan menguraikan huruf-huruf dan kombinasinya serta
mengalami kesulitan menerjemahkannya. Mereka mungkin juga salah mempersepsikan
huruf-huruf seperti jungkir balik, contohnya bingung antara huruf w dan m. Disleksia
biasanya tampak pada usia 7 tahun, bersamaan dengan kelas 2 SD, walaupun sudah
dikenali pada usia 6 tahun.
d. Kelainan
Tubuh (tunadaksa)
Tunadaksa berarti suatu keadaan rusak atau
terganggu sebagai akibat gangguan bentuk hambatan pada tulang, otot, dan sendi
dalam fungsinya sehingga menghambat kegiatan individu untuk menjalani aktivitas
yang normal.
Klasifikasi
anak tunadaksa menurut Mohammad Effendi dalam situs file:///D:/DOWNLOAD/jipptumg--achsyaifud-2381-2-(15)bab-2.pd
yaitu:
1) Tunadaksa
ortopedi adalah tunadaksa yang mengalami kelainan, kecacatan, ketunaan tertentu
pada bagian tulang, otot, tubuh, ataupun daerah persendian, baik yang di bawah
sejak lahir maupun yang diperoleh kemudian sehingga mengakibatkan terganggunya
fungsi tubuh secara normal.
2) Tunadaksa
saraf adalah anak tunadaksa yang mengalami kelainan akibat gangguan pada
susunan saraf di otak. Luka pada bagian otak tertentu, efeknya penderita akan
mengalami gangguan dalam perkembangan, mungkin akan berakibat ketidakmampuan
dalam melaksanakan berbagai bentuk kegiatan. Salah satu bentuk kelainan yang
terjadi pada fungsi otak dapat dilihat pada anak cerebral palsy (CP). Cerebral
palsy yaitu gangguan aspek motorik kasar yang disebabkan oleh difungsinya
otak. Dengan terganggunya fungsi motorik, sebagaimana yang dialami anak
penderita cerebral palsy, rentetan
kesulitan berikutnya kemungkinan dapat memengaruhi kesulitan belajar,
masalah-masalah kejiwaan, kelainan sensoris, kejang-kejang, maupun penyimpangan
perilaku yang bersumber pada fungsi organ tubuhnya.
Kendala
dalam perkembangan kepribadian anak tunadaksa, antara lain:
1) Terhambatnya
aktivitas normal sehingga menimbulkan perasaan frustasi.
2)
Timbulnya kekhawatiran berlebihan dan sikap
orang tua yang over protection.
3)
Diskriminasi perlakuan yang berbeda terhadap
anak tunadaksa.
e. Tunanetra
Tunanetra
adalah individu yang memiliki hambatan dalam penglihatan. tunanetra dapat
diklasifikasikan ke dalam dua golongan yaitu: buta total (blind) dan low vision. Definisi tunanetra menurut
Kaufman dan Hallahan dalam situs file:///D:/DOWNLOAD/jipptumg--achsyaifud-2381-2-(15)bab-2.pd adalah
individu yang memiliki lemah penglihatan atau akurasi penglihatan kurang dari
6/60 setelah dikoreksi atau tidak lagi memiliki penglihatan. Karena tunanetra
memiliki keterbatasan dalam indra penglihatan maka proses pembelajaran menekankan
pada alat indra yang lain yaitu indra peraba dan indra pendengaran.
Oleh karena itu prinsip yang harus
diperhatikan dalam memberikan pengajaran kepada individu tunanetra adalah media
yang digunakan harus bersifat taktil
dan bersuara, contohnya adalah penggunaan tulisan braille, gambar timbul, benda
model dan benda nyata. Sedangkan media yang bersuara adalah tape recorder dan peranti lunak JAWS.
Ciri-ciri
anak tunanetra, yaitu:
1) Tidak
mampu melihat.
2)
Tidak mampu mengenali orang pada jarak 6
meter.
3)
Kerusakan nyata pada kedua bola mata.
4)
Sering meraba-raba/tersandung waktu
berjalan.
5)
Mengalami kesulitan mengambil benda kecil di
dekatnya.
6)
Bagian bola mata yang hitam berwarna
keruh/bersisik/kering.
7)
Pandangan hebat pada kedua bola mata.
8)
Mata yang bergoyang terus.
f. Autisme
Autisme adalah gangguan
yang parah pada kemampuan komunikasi yang berkepanjangan yang tampak pada usia
tiga tahun pertama, ketidakmampuan berkomunikasi ini diduga mengakibatkan anak penyandang
autis menyendiri dan tidak ada respon terhadap orang lain (Sarwindah, dalam
situs file:///D:/DOWNLOAD/jipptumg--achsyaifud-2381-2-(15)bab-2.pd).
Yuniar dalam situs file:///D:/DOWNLOAD/jipptumg--achsyaifud-2381-2-(15)bab-2.pd menambahkan
bahwa autisme adalah gangguan perkembangan yang kompleks, memengaruhi perilaku,
dengan akibat kekurangan kemampuan komunikasi, hubungan sosial dan emosional
dengan orang lain, sehingga sulit untuk mempunyai keterampilan dan pengetahuan
yang diperlukan sebagai anggota masyarakat.
Berikut
beberapa gejala-gejala anak autis:
1) Tidak
bermain dengan teman sebaya dengan cara yang sesuai.
2)
Terlambat bicara/tak bisa bicara tanpa
kompensasi penggunaan isyarat.
3)
Penggunaan bahasa yang berulang.
4)
Minat yang terbatas dan abnormal dalam
intensitas dan fokus.
5)
Sensitivitas berlebihan/kurang sensitif.
6)
Terdapat bakat-bakat di bidang membaca,
aritmatika, menggambar, mengeja, olahraga, dan komputer.
g. Tunalaras
Anak tunalaras adalah anak yang mengalami gangguan
emosi dan perilaku. Ciri-ciri tunalaras yaitu:
1) Cenderung
membangkang.
2)
Mudah terangsang emosinya/emosional/mudah
marah.
3)
Sering melakukan tindakan agresif, merusak, dan
mengganggu.
4)
Sering bertindak melanggar norma
sosial/norma susila/hukum.
5)
Cenderung prestasi belajar dan motivasi
rendah, sering bolos, jarang masuk sekolah.
h. Anak
dengan kecerdasan dan bakat istimewa (gifted and talented)
Cerdas istimewa (gifted IQ 140-179 and
genius IQ 180 ke atas) anak dengan IQ di atas rata-rata. Gifted, yang termasuk dalam golongan ini yaitu mereka yang tidak
jenius, tetapi menonjol dan terkenal. Anak cerdas istimewa memiliki ciri-ciri
sebagai berikut:
1) Membaca
pada usia lebih muda, lebih cepat, dan memiliki perbendaharaan kata yang luas.
2)
Memiliki rasa ingin tahu yang kuat, minat
yang cukup tinggi.
3)
Berinisiatif, kreatif, dan original dalam
menunjukkan gagasan.
4)
Mampu memberikan jawaban-jawaban atau alasan
yang logis, sistematis dan kritis.
5)
Dapat berkonsentrasi untuk jangka waktu yang
panjang, terutama terhadap tugas atau bidang yang diminati.
6)
Mempunyai daya abstraksi, konseptualisasi,
dan sintesis yang tinggi.
7)
Senang terhadap kegiatan intelektual dan
pemecahan masalah.
i. Tunarungu
Anak dengan gangguan pendengaran sering
disebut tunarungu. Istilah tunarungu dirasa lebih halus daripada tuli.
Berdasarkan tingkat kehilangan pendengaran, ketunarunguan dapat diklasifikasikan
sebagai berikut:
1) Tunarungu
ringan (mild hearing loss) antara 27-40 dB.
Siswa yang mengalami kondisi ini sulit mendengar suara
yang jauh sehingga membutuhkan tempat duduk yang strategis.
2) Tunarungu
sedang (moderate hearing loss) anatara 41-55 dB.
Ia dapat mengerti percakapan dari jarak 3-5 feet secara
berhadapan (face to face), tetapi tidak dapat mengikuti diskusi kelas. Ia
membutuhkan alat bantu dengar serta terapi bicara.
3) Tunarungu
agak berat (moderately severe hearing loss) antara 56-70 dB. Ia hanya dapat mendengar suara dari jarak
dekat sehingga ia perlu menggunakan hearing
aid.
4) Tunarungu
berat (severe hearing loss) antara 71-90 dB.
Ia hanya dapat mendengar suara-suara yang keras dari
jarak dekat. Siswa tersebut membutuhkan pendidikan khusus secara intensif, alat
bantu dengar, serta latihan untuk mengembangkan kemampuan bicara dan bahasanya.
5) Tunarungu
berat sekali (profound hearing loss).
Pada kondisi ini mengalami kehilangan pendengaran lebih
dari 90 dB. Mungkin ia masih mendengar suara yang keras, tetapi ia lebih
menyadari suara melalui getarannya (vibrations) daripada pola suara.
j. ADHD
ADHD
(attention deficit hyperactivity disorder) adalah gangguan perkembangan dalam
peningkatan aktivitas motorik anak-anak hingga menyebabkan aktivitas anak-anak
yang tidak lazim dan cenderung berlebihan. Hal ini ditandai dengan berbagai
keluhan perasaan gelisah, tidak bisa diam, tidak bisa duduk dengan tenang, dan
selalu meninggalkan keadaan yang tetap seperti sedang duduk, atau sedang
berdiri.
Ciri-ciri
anak ADHD yaitu:
1) Sering
kali gagal untuk memperhatikan detail atau melakukan kesalahan yang tidak
semestinya dalam mengerjakan tugas-tugas sekolah atau tugas lainnya.
2)
Kerap kali mengalami kesulitan untuk
mempertahankan perhatiannya dalam tugas-tugas yang sedang dikerjakannya atau
saat bermain.
3)
Sering kali terlihat seperti tidak
mendengarkan saat diajak berbicara oleh orang lain.
4)
Sering kali tidak mengikuti petunjuk yang
diberikan dan gagal untuk menyelesaikan tugas-tugas sekolah atau tugas lainnya
di tempat kerja.
5)
Sering kali mengalami kesulitan untuk
mengorganisir tugas atau kegiatannya.
6)
Sering kali menghindar, menolak, atau enggan
untuk terlibat dalam tugas-tugas yang membutuhkan mental effort (tugas yang menuntut anak untuk berpikir), seperti tugas
sekolah, PR.
7)
Sering kehilangan benda-benda yang
diperlukan untuk membuat tugas atau bermain, seperti alat tulis, buku kerja,
mainan, dan lain-lain.
8) Perhatiannya
mudah teralih oleh stimulus di lingkungan.
Penerapan
pendidikan inklusif di Indonesia dilandasi oleh:
a. Landasan
Filosofis
Landasan filsosfis bagi pendidikan inklusif
di Indonesia yaitu:
1) Bangsa
Indonesia adalah bangsa yang berbudaya dengan lambang negara Burung Garuda yang
berarti “bhineka tunggal ika”. Keragaman dalam etnik, dialek, adat istiadat
keyakinan, tradisi, dan budaya merupakan kekayaan bangsa yang menjunjung tinggi
persatuan dan kesatuan dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
2) Pandangan
agama (khususnya islam); manusia dilahirkan dalam keadaan suci, kemuliaan
manusia di hadapan Tuhan (Allah) bukan karena fisik akan tetapi takwanya, Allah
tidak akan merubah nasib suatu kaum kecuali kaum itu sendiri, manusia
diciptakan berbeda-beda untuk saling silaturahmi.
3) Pandangan
universal hak asasi manusia menyatakan bahwa setiap manusia mempunyai hak untuk
hidup yang layak, pendidikan, kesehatan, dan pekerjaan.
4) Pendidikan
inklusi merupakan implementasi pendidikan yang berwawasan multikultural yang
dapat membantu peserta didik mengerti, menerima, serta menghargai orang yang
lain yang berbeda suku, budaya, nilai, kepribadian, dan keberfungsian fisik
maupun psikologis.
b. Landasan
Yuridis
1) Undang-Undang
Dasar 1945 (amandemen) pasal 31.
2) Undang-Undang
Nomor 20 tahun 2003 sistem Pendidikan Nasional pasal 5.
3) Undang-Undang
Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
4) Undang-undang
Nomor 4 tahun 1997 tentang Penyandang Cacat.
5) Permendiknas
Nomor 70 tahun 2009 tentang Pendidikan Inklusif bagi peserta didik yang
memiliki kelainan dan potensi kecerdasan dan atau bakat istimewa.
6) Surat
Edaran Dirjen Dikdasmen Depdiknas Nomor 380/C.C6/MN/2003 20 Januari 2003:
“setiap kabupaten/kota diwajibkan menyelenggarakan dan mengembangkan pendidikan
sekurang-kurangnya 4 (empat) sekolah yang terdiri dari SD, SMP, SMA, SMK”.
7) Deklarasi
Bandung “Indonesia menuju pendidikan inklusif” tanggal 08-14 Agustus 2004.
c. Landasan
Pedagogis
Pasal
3 UU Nomor 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas menyebutkan bahwa tujuan pendidikan
nasional adalah berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang
beriman dan bertakwa terhadap Tuhan yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,
berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis dan
bertanggung jawab, yaitu individu yang mampu menghargai perbedaan dan
berpartisipasi dalam masyarakat. Tujuan ini mustahil tercapai jika sejak awal
mereka diisolasikan dari teman sebayanya di sekolah-sekolah khusus. Betapapun
kecilnya, mereka harus diberi kesempatan bersama teman sebayanya.
d. Landasan
Empiris
Penelitian
mengenai pendidikan inklusif sudah dilaksanakan di berbagai negara. Berdasarkan
penelitian disebut bahwa pendidikan inklusif dapat memberikan dampak positif
terhadap akademik dan sosial anak. Hal ini menunjukkan bahwa layanan pendidikan
terhadap anak berkebutuhan khusus sudah sesuai dengan kebutuhan masing-masing.
Dari berbagai landasan inklusi di
atas dapat disimpulkan bahwa pendidikan
inklusif menjadi dasar bagi guru untuk melaksanakan pendidikan inklusif dan
memberikan layanan yang tepat bagi anak berkebutuhan khusus sehingga anak
berkebutuhan khusus dapat megembangkan potensi yang dimilikinya. Pendidikan
inklusi bukanlah pendidikan yang bukan hanya bisa dipandang sebelah mata, anak
berkebutuhan khusus mempunyai hak dengan anak-anak normal lainnya untuk
mendapatkan pendidikan yang layak dan bermutu tinggi. Jika anak berkebutuhan
khusus dididik dan dijaga dengan baik, mereka pun bisa tumbuh seperti anak
normal lainnya.
Pendidikan inklusi memiliki beberapa model
menurut Agustyawati dan Solicha dalam situs file:///D:/DOWNLOAD/jipptumg--achsyaifud-2381-2-(15)bab-2.pd, yakni:
a. Kelas
Reguler (inklusi penuh)
Anak berkebutuhan khusus belajar bersama anak non
berkebutuhan khusus sepanjang hari di kelas reguler dengan menggunakan
kurikulum yang sama.
b. Kelas
Reguler dengan Cluster
Anak berkebutuhan khusus belajar bersama anak non
berkebutuhan khusus di kelas reguler dalam kelompok khusus.
c. Kelas
Reguler dengan Pull Out
Anak berkebutuhan khusus belajar bersama anak non
berkebutuhan khusus di kelas reguler namun dalam waktu-waktu tertentu ditarik
dari kelas reguler ke ruang lain untuk belajar dengan guru pembimbing khusus.
d. Kelas
Reguler dengan Cluster dan Pull Out
Anak berkebutuhan khusus belajar bersama anak non
berkebutuhan khusus di kelas reguler dalam kelompok khusus, dan dalam
waktu-waktu tertentu ditarik dari kelas reguler ke ruang lain untuk belajar
dengan guru pembimbing khusus.
e. Kelas
Khusus dengan Berbagai Pengintegrasian
Anak berkebutuhan khusus belajar di dalam kelas khusus
pada sekolah reguler, namun dalam
bidang-bidang tertentu dapat belajar
bersama anak non berkebutuhan khusus di kelas reguler.
f. Kelas
Khusus Penuh
Anak berkebutuhan khusus belajar di dalam kelas khusus
pada sekolah reguler.
Sedangkan, menurut Suci, R. dalam situs file:///D:/DOWNLOAD/jipptumg--achsyaifud-2381-2-(15)bab-2.pd model
kurikulum pada pendidikan inklusi dapat dibagi 3, yaitu:
a. Model
kurikulum reguler, yaitu kurikulum yang mengikutsertakan peserta didik
berkebutuhan khusus untuk mengikuti kurikulum reguler sama seperti kawan-kawan
lainnya di dalam kelas yang sama.
b. Model
kurikulum reguler dengan modifikasi, yaitu kurikulum yang dimodifikasi oleh
guru pada strategi pembelajaran, jenis penilaian, maupun pada program tambahan
lainnya dengan tetap mengacu pada kebutuhan peserta didik berkebutuhan khusus.
Di dalam model ini bisa terdapat siswa berkebutuhan khusus yang memiliki
program pembelajaran individual (PPI).
c. Model
kurikulum program pembelajaran individual (PPI) yaitu kurikulum yang
dipersiapkan guru program PPI yang dikembangkan bersama tim pengembang yang
melibatkan guru kelas, guru pendidikan khusus, kepala sekolah, orang tua, dan
tenaga ahli lain yang terkait. Kurikulum PPI atau dalam bahasa Inggris Individualized Education Program (IEP)
merupakan karakteristik paling kentara dari pendidikan inklusif. Konsep
pendidikan inklusif yang berprinsip adanya persamaan mensyaratkan adanya
penyesuaian model pembelajaran yang tanggap terhadap perbedaan individu. Maka
PPI atau IEP menjadi hal yang perlu mendapat penekanan lebih.
Model pembelajaran bagi anak berkebutuhan
khusus harus memperhatikan prinsip umum dan prinsip khusus. Prinsip umum
pembelajaran meliputi motivasi, konteks, keterarahan, hubungan sosial, belajar
sambil bekerja, individualisasi, menemukan, dan prinsip memecahkan masalah.
Prinsip umum ini dijalankan ketika anak berkebutuhan khusus belajar
bersama-sama dengan anak reguler dalam satu kelas. Baik anak reguler maupun
anak berkebutuhan khusus mendapatkan program pembelajaran yang sama. Prinsip
khusus disesuaikan dengan karakteristik masing-masing peserta didik
berkebutuhan khusus. Prinsip khusus ini dijalankan ketika peserta didik berkebutuhan
khusus membutuhkan pembelajaran individual melalui program pembelajaran individual
(PPI).
III.
PEMBAHASAN
Setiap anak yang lahir di dunia khususnya di
Negara Republik Indonesia berhak mendapatkan pendidikan di sekolah yang
berstandar baik, tidak terkecuali anak berkebutuhan khusus (ABK) dan berbakat istimewa
yang jumlahnya tidak sedikit. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS)
dalam situs http://pk.kemdikbud.go.id/2019/03/15/sekolah-inklusi-dan-pembangunan-slb-dukung-pendidikan-inklusi/, jumlah
anak berkebutuhan khusus (ABK) di Indonesia mencapai angka 1,6 juta anak. Salah
satu upaya yang dilakukan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud)
untuk memberikan akses pendidikan kepada mereka adalah dengan membangun sekolah
baru, yaitu Sekolah Luar Biasa (SLB), dan mendorong tumbuhnya sekolah inklusi
di daerah-daerah.
Direktur Jenderal Pendidikan Dasar dan
Menengah (Dirjen Dikdasmen) Hamid Muhammad dalam situs http://pk.kemdikbud.go.id/2019/03/15/sekolah-inklusi-dan-pembangunan-slb-dukung-pendidikan-inklusi/
menuturkan dari 514 kabupaten/kota di seluruh tanah air, masih terdapat 62
kabupaten/kota yang memiliki SLB. Saat ini, katanya, jumlah anak berkebutuhan
khusus yang sudah mendapat layanan pendidikan baru mencapai angka 18 persen. “Kita masih harus bekerja keras
lagi, masih ada 82 persen (anak berkebutuhan khusus) yang harus kita layani”.
Kehadiran pendidikan inklusi perlu mendapat
perhatian lebih. Dengan hadirnya pendidikan inklusi diharapkan dapat memberikan
kesempatan anak berkebutuhan khusus untuk mendapatkan haknya pendidikan. Oleh
karena itu, membangun kepercayaan dan partisipasi masyarakat, merupakan
tantangan mendasar guna mewujudkan pendidikan inklusif. Cara pandang masyarakat
terhadap anak berkebutuhan khusus (ABK) harus diubah. Selama ini ABK masih
diperlakukan diskriminatif. “jadi yang perlu dibangun dalam satu kesepahaman
dan kesepakatan bersama bahwa anak
berkebutuhan khusus itupun perlu dilayani layaknya orang normal”, kata Dr.
Musjafak Assjari, M.Pd. dari Kemendikbud di Medan, Sabtu (10/10/2015) dalam
situs https://www.google.com/search?q=Dr.+Musjafak+Assjari%2C+M.Pd.+dari+Kemendikbud+di+Medan&oq=Dr.+Musjafak+Assjari%2C+M.Pd.+dari+Kemendikbud+di+Medan&aqs=chrome..69i57.25637j0j4&client=ms-android-samsung&sourceid=chrome-mobile&ie=UTF-8.
Pendidikan inklusif tidaklah sekadar
menempatkan peserta didik berkelainan secara fisik dalam kelas atau sekolah
reguler, dan bukan pula sekadar memasukkan anak berkebutuhan khusus sebanyak
mungkin dalam lingkungan belajar peserta didik normal. Lebih dari itu,
pendidikan inklusif berkaitan dengan cara guru dan peserta didik yang normal
menyambut peserta didik dalam sekolah dan secara langsung mengenali nilai-nilai
keanekaragaman peserta didik.
Dengan adanya pendidikan inklusi kita
dapat mengajarkan kepada siswa tentang ilmu sosial, tentang perbedaan, kebersamaan,
dan meningkatkan empati bagi anak-anak yang normal. Oleh karena itu akan lebih
baik ketika setiap sekolah reguler menerapkan pendidikan inklusi sehingga semua
anak yang berkebutuhan khusus tak perlu bersekolah di sekolah luar biasa. Dan
para ABK bisa belajar bersama anak normal usia sebayanya di sekolah yang
terdekat dengan tempat tinggalnya.
Menyelenggarakan sekolah inklusi tidak
mudah karena membutuhkan kesadaran dan dukungan dari berbagai pihak. Pertama
sekolah. Tidak cukup niat baik saja, kepala sekolah harus juga menyediakan guru
khusus, dan memberikan pelatihan kepada guru kelas dan guru bidang studi.
Demikian juga penyedian sarana dan prasarana sekolah yang ramah ABK dan
berbakat khusus. Jika tidak serius merencanakannya, sekolah inklusi hanya akan
menjadi status, tetapi praktik pendidikannya tidak memberikan dampak positif
bagi anak-anak. Kedua, orang tua. Dukungan orang tua yang memiliki anak berkebutuhan
khusus (ABK) sangat penting untuk menyekolahkan anaknya di sekolah inklusi,
berbaur dengan anak-anak normal.
Dalam praktiknya, konsep pendidikan inklusif
yang digadang-gadang mampu memberikan semua kebutuhan terkait pendidikan pada
semua anak tanpa terkecuali itu menemui berbagai macam kendala di antaranya
kurang memadainya kurikulum pendidikan berbasis inklusi sehingga pendidikan
inklusif lebih sering hanya menjadi formalitas dan rendahnya kualitas pengajar
yang menyebabkan tidak maksimalnya penerapan pendidikan inklusif di
sekolah-sekolah umum.
Dalam mewujudkan
pendidikan inklusif secara optimal, guru di sekolah reguler perlu dibekali
berbagai pengetahuan tentang anak berkebutuhan khusus dan pendidikan inklusi
lewat pelatihan, seminar, dan sosialisasi. Di antaranya mengetahui siapa dan
bagaimana anak berkebutuhan khusus serta karakteristiknya. Dengan adanya
pengetahuan tersebut diharapkan guru mampu melakukan identifikasi, peserta
didik di sekolah, maupun di masyarakat. Semakin berkompetennya tenaga pendidik,
maka diharapkan semakin baik kualitas pelayanan yang diberikan kepada peserta
didik sehingga peserta didik akan terjamin terlebih pada penyelenggaraan
pendidikan inklusif. Tenaga pendidik khususnya guru yang mengajar di sekolah
inklusi harus tahu bahwa keadaan peserta didik itu berbeda-beda dalam hal
kecerdasan maupun fisik. Dengan demikian, semoga semakin banyak ABK yang
terlayani pendidikannya.
IV. PENUTUP
A. Kesimpulan
Pendidikan yang berkualitas pada dasarnya
adalah milik semua orang, tanpa melihat kaya atau miskin, tua muda, bahkan
orang yang normal dan orang yang berkebutuhan khusus. Sehingga pendidikan dapat
dinikmati oleh semua orang tanpa terkecuali. Inti dari pendidikan inklusi
adalah hak asasi manusia atas pendidikan. Suatu
konsekuensi logis dari
hak ini adalah semua anak mempunyai hak untuk
menerima pendidikan yang tidak mendiskriminasikan dengan
kecacatan, etnis, agama,
bahasa, jenis kelamin, kemampuan, dan
lain-lain.
B. Saran
Dalam upaya peningkatan pengimplementasian
pendidikan inklusi di Indonesia maka melalui tulisan ini disarankan:
1. Bagi
sekolah agar dapat mempertahankan dan meningkatkan pelaksanaan sekolah inklusi
yang sudah berjalan demi terwujudnya pendidikan yang merata.
2.
Bagi orang tua yang memiliki siswa
berkebutuhan khusus agar lebih memperhatikan perkembangan anak baik akademik
maupun non akademik.
3. Bagi
pemerintah agar lebih memperhatikan program pendidikan inklusi supaya para ABK
mendapatkan haknya secara optimal.
DAFTAR
PUSTAKA
(Online). (file:///D:/DOWNLOAD/bab%202%20-NIM%2008101241028.pdf. diakses 24
September 2019).
(Online). (file:///D:/DOWNLOAD/jipptumg--achsyaifud-2381-2-(15)bab-2.pdf. diakses 24
September 2019).
2014. Tujuan
dan Landasan Pendidikan Inklusi (Online). (http://izzaucon.blogspot.com/2014/06/tujuan-dan-landasan-pendidikan-inklusi.html?m=1). diakses 24
September 2019).
2019. Sekolah
Inklusi dan Pembangunan SLB Dukung Pendidikan Inklusi (Online). http://pk.kemdikbud.go.id/2019/03/15/sekolah-inklusi-dan-pembangunan-slb-dukung-pendidikan-inklusi/.
diakses 24 September 2019).
Anindya
Purnama. 2014. Sekolah Inklusi Solusi
bagi Kualitas Pendidikan ABK (Online). (https://www.google.com/amp/s/www.kompasiana.com/amp/anin.rianto/sekolah-inklusi-dan-abk_54f6c350a33311c55c8b48ae. Diakses 24
September 2019).
Kabar Medan.com.
2015. Masyarakat Harus Dukung Pendidikan
Inklusif di Sumut (Online). (https://www.google.com/search?q=Dr.+Musjafak+Assjari%2C+M.Pd.+dari+Kemendikbud+di+Medan&oq=Dr.+Musjafak+Assjari%2C+M.Pd.+dari+Kemendikbud+di+Medan&aqs=chrome..69i57.25637j0j4&client=ms-android-samsung&sourceid=chrome-mobile&ie=UTF-8. diakses 24
September 2019).
Peraturan
Menteri Pendidikan Nasional No 70 Tahun 2009.







0 komentar:
Posting Komentar