Senin, 22 Juni 2020

Artikel Pendidikan Inklusif

IMPLEMENTASI PENDIDIKAN INKLUSIF DI INDONESIA

Oleh:

Nurliah


Abstrak

          Pendidikan inklusif adalah sistem layanan pendidikan yang mengatur agar difabel dapat dilayani di sekolah terdekat, di kelas reguler bersama-sama teman seusianya. Tanpa harus dikhususkan kelasnya, siswa dapat belajar bersama dengan aksesibilitas yang mendukung untuk siswa tanpa terkecuali difabel. Tujuan dalam penulisan ini adalah mendeskripsikan pendidikan inklusif, serta melihat seperti apa implementasi pendidikan inklusif di Indonesia. Analisis implementasi pendidikan inklusif di sekolah reguler dalam artikel ilmiah pada tulisan ini dilakukan analisis pustaka. Sebagai alat bantu untuk mendeskripsikan pengimplementasian pendidikan inklusif di Indonesia. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa di Indonesia pendidikan inklusif belum mendapat tanggapan serius dari berbagai pihak, oleh karena itu memerlukan sosialisasi yang memberikan kejelasan pentingnya hal ini.

 

Kata kunci: Implementasi, pendidikan inklusif

 

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

          Pendidikan merupakan kebutuhan manusia yang sangat penting karena pendidikan memiliki tugas untuk menyiapkan sumber daya manusia bagi pembangunan bangsa dan negara. Pendidikan juga merupakan hak semua manusia, artinya pendidikan dilaksanakan tidak memandang perbedaan, baik dari sudut pandang status sosial, agama, suku, ras, fisik, dan bangsa.

          Di dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 31 ayat 1 berbunyi “setiap warga negara berhak mendapat pendidikan”. Berdasarkan ayat tersebut jelas bahwa pemerintah memberikan kesempatan kepada semua warga negara  untuk memperoleh pendidikan yang layak. Tidak hanya orang dewasa, remaja, dan anak-anak yang normal tetapi anak berkebutuhan khusus (ABK) pun juga berhak mendapatkan pendidikan.

Pendidikan inklusi bertujuan agar anak-anak yang berkebutuhan khusus dapat bersekolah di sekolah formal, dapat hidup seperti anak-anak normal lainnya, belajar bersama serta bersosialisasi dengan teman sebaya mereka tanpa hambatan.

B. Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah yang akan dibahas dalam tulisan ini, yaitu bagaimana implementasi pendidikan inklusi di Indonesia?

C. Tujuan

          Tujuan dalam penulisan ini diharapkan mampu memberi gambaran mengenai pengimplementasian pendidikan inklusi di Indonesia.

D. Manfaat

Manfaat dari penulisan ini agar para pembaca dapat menambah wawasan tentang implementasi pendidikan inklusi di sekolah reguler khususnya di Indonesia.

II. KAJIAN PUSTAKA

Pendidikan merupakan kebutuhan dasar setiap manusia untuk menjamin keberlangsungan hidupnya agar lebih bermartabat. Karena itu negara memiliki kewajiban untuk memberikan pelayanan pendidikan yang bermutu kepada setiap warganya tanpa terkecuali termasuk mereka yang memiliki perbedaan dalam kemampuan (difabel).

          Sekolah inklusi adalah sekolah reguler tetapi menerima anak berkebutuhan khusus (ABK) dan menyediakan sistem layanan pendidikan yang disesuaikan dengan kebutuhan anak tanpa kebutuhan khusus (ATBK) dan ABK melalui adaptasi kurikulum, pembelajaran, penilaian, dan sarana dan prasarananya. Pendidikan inklusif merupakan pendidikan yang sangat menekankan hak asasi manusia pada seluruh siswa baik itu normal dan anak berkebutuhan khusus (ABK). Pendidikan inklusif memiliki prinsip dasar bahwa selama memungkinkan, semua anak sepatutnya belajar bersama-sama tanpa memandang kesulitan atau perbedaan yang mungkin ada pada diri mereka.

Tujuan pendidikan inklusif adalah:

a.     Memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada semua peserta didik yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, dan sosial atau memiliki potensi kecerdasan atau bakat istimewa untuk memperoleh pendidikan yang bermutu sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya.

b.     Menciptakan sistem pendidikan yang menghargai keanekaragaman, tidak diskriminatif bagi semua peserta didik, serta ramah terhadap pembelajaran.

c.      Membantu mempercepat program wajib belajar pendidikan dasar.

d.     Membantu meningkatkan mutu pendidikan dasar dan menengah dengan menekan angka tinggal kelas dan putus sekolah.

e.     Memenuhi amanat Undang-Undang Dasar 1945 khususnya pasal 31 ayat 1 yang berbunyi “setiap warga negara berhak mendapat pendidikan” dan ayat 2 yang berbunyi “setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya”. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, khususnya pasal 5 ayat 1 yang berbunyi “setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu”. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, khususnya pasal 51 yang berbunyi “anak yang menyandang cacat fisik atau mental diberikan kesempatan yang sama dan aksebilitas untuk memperoleh pendidikan biasa dan luar biasa.

Tujuan praktis yang ingin dicapai dalam pendidikan inklusi meliputi tujuan langsung oleh anak, oleh guru, oleh orang tua, dan oleh masyarakat.

a.  Tujuan yang ingin dicapai oleh anak dalam mengikuti kegiatan belajar dalam inklusi antara lain adalah:

1)   Berkembangnya kepercayaan pada diri anak, merasa bangga pada diri sendiri atas prestasi yang diperolehnya.

2)   Anak dapat belajar secara mandiri, dengan mencoba memahami dan menerapkan pelajaran yang diperolehnya di sekolah ke dalam kehidupan sehari-hari.

3)   Anak mampu berinteraksi secara aktif bersama teman-temannya, guru, sekolah, dan masyarakat.

4)   Anak dapat belajar untuk menerima adanya perbedaan, dan mampu beradaptasi dalam mengatasi perbedaan tersebut.

b.  Tujuan yang ingin dicapai oleh guru-guru dalam melaksanakan pendidikan inklusi antara lain adalah:

1)   Guru akan memperoleh kesempatan belajar dari cara mengajar dengan setting inklusi.

2)   Terampil dalam melakukan pembelajaran kepada peserta didik yang memiliki latar belakang beragam.

3)   Mampu mengatasi berbagai tantangan dalam memberikan layanan kepada semua anak.

4)   Bersikap positif terhadap orang tua, masyarakat, dan anak dalam situasi beragam.

5)   Mempunyai peluang untuk menggali dan mengembangkan serta mengaplikasikan berbagai gagasan baru melalui komunikasi dengan anak di lingkungan sekolah dan masyarakat.

c.   Tujuan yang akan dicapai bagi orang tua antara lain adalah:

1)   Para orang tua dapat belajar lebih banyak tentang bagaimana cara mendidik dan membimbing anaknya lebih baik di rumah, dengan menggunakan teknik yang digunakan guru di sekolah.

2)   Mereka secara pribadi terlibat, dan akan merasakan keberadaannya menjadi lebih penting dalam membantu anak untuk belajar.

3)   Orang tua akan merasa dihargai, merasa dirinya sebagai mitra sejajar dalam memberikan kesempatan belajar yang berkualitas kepada anaknya.

4)   Orang tua mengetahui bahwa anaknya dan semua anak yang di sekolah, menerima pendidikan yang berkualitas sesuai dengan kemampuan masing-masing individu anak.

d.  Tujuan yang diharapkan dapat dicapai oleh masyarakat dalam pelaksanaan pendidikan inklusif antara lain adalah:

1)   Masyarakat akan merasakan suatu kebanggaan karena lebih banyak anak mengikuti pendidikan di sekolah yang ada di lingkungannya. 

2)   Semua anak yang ada di masyarakat akan terangkat dan menjadi sumber daya yang potensial, yang akan lebih penting adalah bahwa masyarakat akan lebih terlibat di sekolah dalam rangka menciptakan hubungan yang lebih baik antara sekolah dan masyarakat. (Tarmansyah, dalam situs file:///D:/DOWNLOAD/bab%202%20-NIM%2008101241028.pdf)

Oleh karena itu, anak berkebutuhan khusus harus memperoleh pendidikan yang layak seperti halnya teman sebayanya yang berada di sekolah reguler. Anak berkebutuhan khusus yang dimaksud di sini adalah anak dengan karakteristik khusus yang berbeda pada umumnya. Kriteria anak yang tergolong berkebutuhan khusus (ABK) di antaranya yaitu:

a.  Anak Lambat Belajar (slow learner)

Anak lambat belajar (slow learner) adalah anak yang memiliki potensi intelektual sedikit di bawah normal tetapi belum termasuk tunagrahita. Dalam beberapa hal mereka mengalami hambatan atau keterlambatan berpikir, merespon rangsangan dan adaptasi sosial, tetapi masih jauh lebih baik dibanding dengan tunagrahita, lebih lambat dibanding dengan anak yang normal. Mereka butuh waktu yang lebih lama dan berulang-ulang untuk dapat menyelesaikan tugas-tugas akademik maupun non akademik, sehingga memerlukan pelayanan pendidikan khusus.

Anak lambat belajar memiliki ciri fisik normal, tapi saat di sekolah mereka sulit menangkap materi, responnya lambat, dan kosa kata berkurang. Dari sisi perilaku, mereka cenderung pendiam dan pemalu, dan mereka kesulitan untuk berteman. Anak-anak lambat belajar (slow learner) ini juga cenderung kurang percaya diri. Kemampuan berpikir abstraknya lebih rendah dibandingkan dengan anak pada umumnya.

Karakterikstik dari individu yang mengalami slow learner:

1)   Fungsi kemampuan di bawah rata-rata pada umumnya.

2)   Memiliki kecanggungan dalam kemampuan menjalin hubungan intrapersonal.

3)   Memiliki kesulitan dalam melakukan perintah yang bertahap.

4)   Tidak memilki tujuan dalam menjalani kehidupannya.

5)   Memiliki berbagai kesulitan internal seperti keterampilan mengorganisasikan dan menyimpulkan informasi.

6)   Memiliki skor yang rendah dengan konsisten dalam beberapa tes.

7)   Memiliki pandangan mengenai dirinya yang buruk.

8)   Mengerjakan segalanya secara lambat.

9)   Lambat dalam penguasaan terhadap sesuatu.

b.  Tunagrahita (retardasi mental)

Tunagrahita adalah istilah yang digunakan untuk menyambut anak yang mempunyai kemampuan intelektual di bawah rata-rata. Tunagrahita juga dikenal dengan istilah terbelakang mental atau retardasi mental karena keterbatasan kecerdasannya mengakibatkan dirinya untuk sukar mengikuti program pendidikan di sekolah biasa, oleh karena itu anak tunagrahita membutuhkan pendidikan yang memiliki layanan secara khusus yakni dengan kemampuan anak tersebut.

Edgar Doll sebagaimana diungkapkan kembali oleh Sutjihati Somantri dalam situs file:///D:/DOWNLOAD/jipptumg--achsyaifud-2381-2-(15)bab-2.pd, berpendapat seorang dikatakan tunagrahita jika:

1)   Secara sosial tidak cakap.

2)   Secara mental di bawah normal.

3)   Kecerdasannya terhambat sejak lahir atau pada usia muda.

4)   Kematangan terhambat.

Berdasarkan hasil tes IQ (skala weschler) tunagrahita atau keterbelakangan mental dapat dibagi menjadi:

1)   Keterbelakangan mental ringan (IQ=55-69)

2)   Keterbelakangan mental sedang (IQ=40-54)

3)   Keterbelakangan mental berat (IQ=25-39)

4)   Keterbelakangan mental sangat berat (IQ=24 ke bawah)

Pengelompokkan tunagrahita berdasarkan kelainan jasmani (tipe klinis):

1)   Down syndrome (mongoloid) adalah anak tunagrahita jenis ini disebut demikian karena memiliki raut muka menyerupai orang mongol dengan mata sipit dan miring, lidah tebal suka menjulur keluar, telinga kecil, kulit kasar, susunan gigi kurang baik.

2)   Kretin (cebol) adalah anak ini memperlihatkan ciri-ciri, seperti badan gemuk dan pendek, kaki dan tangan pendek dan bengkok, kulit kering, tebal dan keriput, rambut kering, lidah dan bibir, kelopak mata, telapak tangan dan kaki tebal, pertumbuhan gigi lambat.

3)   Hydrocephal adalah anak ini memiliki ciri-ciri kepala besar, raut muka kecil, pandangan dan pendengaran tidak sempurna, mata kadang-kadang juling.

4)   Microcephal adalah anak ini memiliki ukuran kepala yang kecil.

5)   Macrocephal adalah anak ini memiliki ukuran kepala yang besar dari ukuran normal. 

c.   Kesulitan Belajar

Kesulitan belajar atau learning disabilities merupakan istilah yang merujuk pada keragaman kelompok yang mengalami gangguan di mana gangguan tersebut diwujudkan dalam kesulitan-kesulitan yang signifikan yang dapat menimbulkan gangguan proses belajar (Sutjihati Somantri, dalam situs file:///D:/DOWNLOAD/jipptumg--achsyaifud-2381-2-(15)bab-2.pd).

Menurut Jeffry dkk. dalam situs file:///D:/DOWNLOAD/jipptumg--achsyaifud-2381-2-(15)bab-2.pd tipe-tipe gangguan belajar:

1)   Gangguan matematika (diskakulia)

Gangguan matematika menggambarkan anak-anak dengan kekurangan kemampuan aritmetika. Mereka dapat memiliki masalah memahami istilah-istilah matematika dasar seperti operasi penjumlahan dan pengurangan, memahami simbol-simbol matematika, atau belajar tabel perkalian. Mengingat pentingnya kemampuan berhitung yang tidak lepas dalam kehidupan sehari-hari maka hendaknya belajar berhitung ditangani sedini mungkin. Mungkin masalah ini tampak sejak duduk di kelas 1 SD (6 tahun) tetapi umumnya tidak dikenali sampai anak duduk di kelas 2 atau 3 SD.

2)   Gangguan menulis (disgrafia)

Gangguan menulis mengacu pada anak-anak dengan keterbatasan pada kemampuan menulis, seperti kesalahan mengeja, tata bahasa, tanda baca, atau kesulitan dalam bentuk kalimat dan paragraf. Kesulitan menulis dapat disebabkan oleh beberapa faktor, salah satunya adalah gangguan motorik halus misalnya cara memegang alat tulis dengan benar. Oleh karena itu, kesulitan belajar menulis hendaknya ditangani sejak dini mungkin agar tidak menimbulkan kesulitan bagi anak dalam mempelajari berbagai mata pelajaran yang diajarkan di sekolah. Untuk dapat mengkomunikasikan pikiran dalam bentuk tertulis, pertama-tama anak harus dapat menulis dengan mudah dan dapat membaca. Kesulitan menulis yang parah umumnya tampak pada usia 7 tahun (kelas 2 SD), walaupun kasus-kasus yang lebih ringan mungkin tidak dikenali sampai usia 10 tahun (kelas 5 SD) atau setelahnya.

3)   Gangguan membaca (Disleksia)

Gangguan membaca atau disleksia mengacu pada anak-anak yang memiliki perkembangan keterampilan yang buruk dalam mengenali kata-kata dan memahami bacaan. Kemampuan membaca tidak hanya merupakan dasar untuk menguasai berbagai bidang akademik, tetapi juga pentingnya akan kemampuan membaca dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, seperti halnya kesulitan berhitung dan menulis kesulitan belajar membaca hendaknya dideteksi dan ditangani sedini mungkin agar tidak menimbulkan kesulitan bagi anak dalam mempelajari berbagai pelajaran yang diajarkan di sekolah. Mereka memiliki kesulitan menguraikan huruf-huruf dan kombinasinya serta mengalami kesulitan menerjemahkannya. Mereka mungkin juga salah mempersepsikan huruf-huruf seperti jungkir balik, contohnya bingung antara huruf w dan m. Disleksia biasanya tampak pada usia 7 tahun, bersamaan dengan kelas 2 SD, walaupun sudah dikenali pada usia 6 tahun. 

d.  Kelainan Tubuh (tunadaksa)

Tunadaksa berarti suatu keadaan rusak atau terganggu sebagai akibat gangguan bentuk hambatan pada tulang, otot, dan sendi dalam fungsinya sehingga menghambat kegiatan individu untuk menjalani aktivitas yang normal.

Klasifikasi anak tunadaksa menurut Mohammad Effendi dalam situs file:///D:/DOWNLOAD/jipptumg--achsyaifud-2381-2-(15)bab-2.pd yaitu:

1)   Tunadaksa ortopedi adalah tunadaksa yang mengalami kelainan, kecacatan, ketunaan tertentu pada bagian tulang, otot, tubuh, ataupun daerah persendian, baik yang di bawah sejak lahir maupun yang diperoleh kemudian sehingga mengakibatkan terganggunya fungsi tubuh secara normal.

2)   Tunadaksa saraf adalah anak tunadaksa yang mengalami kelainan akibat gangguan pada susunan saraf di otak. Luka pada bagian otak tertentu, efeknya penderita akan mengalami gangguan dalam perkembangan, mungkin akan berakibat ketidakmampuan dalam melaksanakan berbagai bentuk kegiatan. Salah satu bentuk kelainan yang terjadi pada fungsi otak dapat dilihat pada anak cerebral palsy (CP). Cerebral palsy yaitu gangguan aspek motorik kasar yang disebabkan oleh difungsinya otak. Dengan terganggunya fungsi motorik, sebagaimana yang dialami anak penderita cerebral palsy, rentetan kesulitan berikutnya kemungkinan dapat memengaruhi kesulitan belajar, masalah-masalah kejiwaan, kelainan sensoris, kejang-kejang, maupun penyimpangan perilaku yang bersumber pada fungsi organ tubuhnya.

Kendala dalam perkembangan kepribadian anak tunadaksa, antara lain:

1)   Terhambatnya aktivitas normal sehingga menimbulkan perasaan frustasi.

2)   Timbulnya kekhawatiran berlebihan dan sikap orang tua yang over protection.

3)   Diskriminasi perlakuan yang berbeda terhadap anak tunadaksa.

e.  Tunanetra

Tunanetra adalah individu yang memiliki hambatan dalam penglihatan. tunanetra dapat diklasifikasikan ke dalam dua golongan yaitu: buta total (blind) dan low vision. Definisi tunanetra menurut Kaufman dan Hallahan dalam situs file:///D:/DOWNLOAD/jipptumg--achsyaifud-2381-2-(15)bab-2.pd adalah individu yang memiliki lemah penglihatan atau akurasi penglihatan kurang dari 6/60 setelah dikoreksi atau tidak lagi memiliki penglihatan. Karena tunanetra memiliki keterbatasan dalam indra penglihatan maka proses pembelajaran menekankan pada alat indra yang lain yaitu indra peraba dan indra pendengaran.

Oleh karena itu prinsip yang harus diperhatikan dalam memberikan pengajaran kepada individu tunanetra adalah media yang digunakan harus bersifat taktil dan bersuara, contohnya adalah penggunaan tulisan braille, gambar timbul, benda model dan benda nyata. Sedangkan media yang bersuara adalah tape recorder dan peranti lunak JAWS.

Ciri-ciri anak tunanetra, yaitu:

1)   Tidak mampu melihat.

2)   Tidak mampu mengenali orang pada jarak 6 meter.

3)   Kerusakan nyata pada kedua bola mata.

4)   Sering meraba-raba/tersandung waktu berjalan.

5)   Mengalami kesulitan mengambil benda kecil di dekatnya.

6)   Bagian bola mata yang hitam berwarna keruh/bersisik/kering.

7)   Pandangan hebat pada kedua bola mata.

8)   Mata yang bergoyang terus.

f.   Autisme

Autisme adalah gangguan yang parah pada kemampuan komunikasi yang berkepanjangan yang tampak pada usia tiga tahun pertama, ketidakmampuan berkomunikasi ini diduga mengakibatkan anak penyandang autis menyendiri dan tidak ada respon terhadap orang lain (Sarwindah, dalam situs file:///D:/DOWNLOAD/jipptumg--achsyaifud-2381-2-(15)bab-2.pd). Yuniar dalam situs file:///D:/DOWNLOAD/jipptumg--achsyaifud-2381-2-(15)bab-2.pd menambahkan bahwa autisme adalah gangguan perkembangan yang kompleks, memengaruhi perilaku, dengan akibat kekurangan kemampuan komunikasi, hubungan sosial dan emosional dengan orang lain, sehingga sulit untuk mempunyai keterampilan dan pengetahuan yang diperlukan sebagai anggota masyarakat. 

Berikut beberapa gejala-gejala anak autis:

1)   Tidak bermain dengan teman sebaya dengan cara yang sesuai.

2)   Terlambat bicara/tak bisa bicara tanpa kompensasi penggunaan isyarat.

3)   Penggunaan bahasa yang berulang.

4)   Minat yang terbatas dan abnormal dalam intensitas dan fokus.

5)   Sensitivitas berlebihan/kurang sensitif.

6)   Terdapat bakat-bakat di bidang membaca, aritmatika, menggambar, mengeja, olahraga, dan komputer.

g.  Tunalaras

Anak tunalaras adalah anak yang mengalami gangguan emosi dan perilaku. Ciri-ciri tunalaras yaitu:

1)   Cenderung membangkang.

2)   Mudah terangsang emosinya/emosional/mudah marah.

3)   Sering melakukan tindakan agresif, merusak, dan mengganggu.

4)   Sering bertindak melanggar norma sosial/norma susila/hukum.

5)   Cenderung prestasi belajar dan motivasi rendah, sering bolos, jarang masuk sekolah.

h.  Anak dengan kecerdasan dan bakat istimewa (gifted and talented)

Cerdas istimewa (gifted IQ 140-179 and genius IQ 180 ke atas) anak dengan IQ di atas rata-rata. Gifted, yang termasuk dalam golongan ini yaitu mereka yang tidak jenius, tetapi menonjol dan terkenal. Anak cerdas istimewa memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

1)   Membaca pada usia lebih muda, lebih cepat, dan memiliki perbendaharaan kata yang luas.

2)   Memiliki rasa ingin tahu yang kuat, minat yang cukup tinggi.

3)   Berinisiatif, kreatif, dan original dalam menunjukkan gagasan.

4)   Mampu memberikan jawaban-jawaban atau alasan yang logis, sistematis dan kritis.

5)   Dapat berkonsentrasi untuk jangka waktu yang panjang, terutama terhadap tugas atau bidang yang diminati.

6)   Mempunyai daya abstraksi, konseptualisasi, dan sintesis yang tinggi.

7)   Senang terhadap kegiatan intelektual dan pemecahan masalah.

i.    Tunarungu

Anak dengan gangguan pendengaran sering disebut tunarungu. Istilah tunarungu dirasa lebih halus daripada tuli. Berdasarkan tingkat kehilangan pendengaran, ketunarunguan dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

1)   Tunarungu ringan (mild hearing loss) antara 27-40 dB.

Siswa yang mengalami kondisi ini sulit mendengar suara yang jauh sehingga membutuhkan tempat duduk yang strategis.

2)   Tunarungu sedang (moderate hearing loss) anatara 41-55 dB.

Ia dapat mengerti percakapan dari jarak 3-5 feet secara berhadapan (face to face), tetapi tidak dapat mengikuti diskusi kelas. Ia membutuhkan alat bantu dengar serta terapi bicara.

3)   Tunarungu agak berat (moderately severe hearing loss) antara 56-70 dB.  Ia hanya dapat mendengar suara dari jarak dekat sehingga ia perlu menggunakan hearing aid.

4)   Tunarungu berat (severe hearing loss) antara 71-90 dB.

Ia hanya dapat mendengar suara-suara yang keras dari jarak dekat. Siswa tersebut membutuhkan pendidikan khusus secara intensif, alat bantu dengar, serta latihan untuk mengembangkan kemampuan bicara dan bahasanya.

5)   Tunarungu berat sekali (profound hearing loss).

Pada kondisi ini mengalami kehilangan pendengaran lebih dari 90 dB. Mungkin ia masih mendengar suara yang keras, tetapi ia lebih menyadari suara melalui getarannya (vibrations) daripada pola suara.

j.   ADHD

ADHD (attention deficit hyperactivity disorder) adalah gangguan perkembangan dalam peningkatan aktivitas motorik anak-anak hingga menyebabkan aktivitas anak-anak yang tidak lazim dan cenderung berlebihan. Hal ini ditandai dengan berbagai keluhan perasaan gelisah, tidak bisa diam, tidak bisa duduk dengan tenang, dan selalu meninggalkan keadaan yang tetap seperti sedang duduk, atau sedang berdiri.

Ciri-ciri anak ADHD yaitu:

1)   Sering kali gagal untuk memperhatikan detail atau melakukan kesalahan yang tidak semestinya dalam mengerjakan tugas-tugas sekolah atau tugas lainnya.

2)   Kerap kali mengalami kesulitan untuk mempertahankan perhatiannya dalam tugas-tugas yang sedang dikerjakannya atau saat bermain.

3)   Sering kali terlihat seperti tidak mendengarkan saat diajak berbicara oleh orang lain.

4)   Sering kali tidak mengikuti petunjuk yang diberikan dan gagal untuk menyelesaikan tugas-tugas sekolah atau tugas lainnya di tempat kerja.

5)   Sering kali mengalami kesulitan untuk mengorganisir tugas atau kegiatannya.

6)   Sering kali menghindar, menolak, atau enggan untuk terlibat dalam tugas-tugas yang membutuhkan mental effort (tugas yang menuntut anak untuk berpikir), seperti tugas sekolah, PR.

7)   Sering kehilangan benda-benda yang diperlukan untuk membuat tugas atau bermain, seperti alat tulis, buku kerja, mainan, dan lain-lain.

8)   Perhatiannya mudah teralih oleh stimulus di lingkungan.

Penerapan pendidikan inklusif di Indonesia dilandasi oleh:

a.  Landasan Filosofis

Landasan filsosfis bagi pendidikan inklusif di Indonesia yaitu:

1)   Bangsa Indonesia adalah bangsa yang berbudaya dengan lambang negara Burung Garuda yang berarti “bhineka tunggal ika”. Keragaman dalam etnik, dialek, adat istiadat keyakinan, tradisi, dan budaya merupakan kekayaan bangsa yang menjunjung tinggi persatuan dan kesatuan dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

2)   Pandangan agama (khususnya islam); manusia dilahirkan dalam keadaan suci, kemuliaan manusia di hadapan Tuhan (Allah) bukan karena fisik akan tetapi takwanya, Allah tidak akan merubah nasib suatu kaum kecuali kaum itu sendiri, manusia diciptakan berbeda-beda untuk saling silaturahmi.

3)   Pandangan universal hak asasi manusia menyatakan bahwa setiap manusia mempunyai hak untuk hidup yang layak, pendidikan, kesehatan, dan pekerjaan.

4)   Pendidikan inklusi merupakan implementasi pendidikan yang berwawasan multikultural yang dapat membantu peserta didik mengerti, menerima, serta menghargai orang yang lain yang berbeda suku, budaya, nilai, kepribadian, dan keberfungsian fisik maupun psikologis.

b.  Landasan Yuridis

1)   Undang-Undang Dasar 1945 (amandemen) pasal 31.

2)   Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 sistem Pendidikan Nasional pasal 5.

3)   Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

4)   Undang-undang Nomor 4 tahun 1997 tentang Penyandang Cacat.

5)   Permendiknas Nomor 70 tahun 2009 tentang Pendidikan Inklusif bagi peserta didik yang memiliki kelainan dan potensi kecerdasan dan atau bakat istimewa.

6)   Surat Edaran Dirjen Dikdasmen Depdiknas Nomor 380/C.C6/MN/2003 20 Januari 2003: “setiap kabupaten/kota diwajibkan menyelenggarakan dan mengembangkan pendidikan sekurang-kurangnya 4 (empat) sekolah yang terdiri dari SD, SMP, SMA, SMK”.

7)   Deklarasi Bandung “Indonesia menuju pendidikan inklusif” tanggal 08-14 Agustus 2004.

c.   Landasan Pedagogis

Pasal 3 UU Nomor 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas menyebutkan bahwa tujuan pendidikan nasional adalah berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa terhadap Tuhan yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab, yaitu individu yang mampu menghargai perbedaan dan berpartisipasi dalam masyarakat. Tujuan ini mustahil tercapai jika sejak awal mereka diisolasikan dari teman sebayanya di sekolah-sekolah khusus. Betapapun kecilnya, mereka harus diberi kesempatan bersama teman sebayanya.

d.  Landasan Empiris

Penelitian mengenai pendidikan inklusif sudah dilaksanakan di berbagai negara. Berdasarkan penelitian disebut bahwa pendidikan inklusif dapat memberikan dampak positif terhadap akademik dan sosial anak. Hal ini menunjukkan bahwa layanan pendidikan terhadap anak berkebutuhan khusus sudah sesuai dengan kebutuhan masing-masing.

          Dari berbagai landasan inklusi di atas  dapat disimpulkan bahwa pendidikan inklusif menjadi dasar bagi guru untuk melaksanakan pendidikan inklusif dan memberikan layanan yang tepat bagi anak berkebutuhan khusus sehingga anak berkebutuhan khusus dapat megembangkan potensi yang dimilikinya. Pendidikan inklusi bukanlah pendidikan yang bukan hanya bisa dipandang sebelah mata, anak berkebutuhan khusus mempunyai hak dengan anak-anak normal lainnya untuk mendapatkan pendidikan yang layak dan bermutu tinggi. Jika anak berkebutuhan khusus dididik dan dijaga dengan baik, mereka pun bisa tumbuh seperti anak normal lainnya.

Pendidikan inklusi memiliki beberapa model menurut Agustyawati dan Solicha dalam situs file:///D:/DOWNLOAD/jipptumg--achsyaifud-2381-2-(15)bab-2.pd, yakni:

a.     Kelas Reguler (inklusi penuh) 

Anak berkebutuhan khusus belajar bersama anak non berkebutuhan khusus sepanjang hari di kelas reguler dengan menggunakan kurikulum yang sama.

b.     Kelas Reguler dengan Cluster  

Anak berkebutuhan khusus belajar bersama anak non berkebutuhan khusus di kelas reguler dalam kelompok khusus.

c.      Kelas Reguler dengan Pull Out 

Anak berkebutuhan khusus belajar bersama anak non berkebutuhan khusus di kelas reguler namun dalam waktu-waktu tertentu ditarik dari kelas reguler ke ruang lain untuk belajar dengan guru pembimbing khusus.

d.     Kelas Reguler dengan Cluster dan Pull Out 

Anak berkebutuhan khusus belajar bersama anak non berkebutuhan khusus di kelas reguler dalam kelompok khusus, dan dalam waktu-waktu tertentu ditarik dari kelas reguler ke ruang lain untuk belajar dengan guru pembimbing khusus. 

e.     Kelas Khusus dengan Berbagai Pengintegrasian 

Anak berkebutuhan khusus belajar di dalam kelas khusus pada sekolah  reguler, namun dalam bidang-bidang  tertentu dapat belajar bersama anak non berkebutuhan khusus di kelas reguler.

f.      Kelas Khusus Penuh 

Anak berkebutuhan khusus belajar di dalam kelas khusus pada sekolah reguler.

Sedangkan, menurut Suci, R. dalam situs file:///D:/DOWNLOAD/jipptumg--achsyaifud-2381-2-(15)bab-2.pd model kurikulum pada pendidikan inklusi dapat dibagi 3, yaitu:

a.     Model kurikulum reguler, yaitu kurikulum yang mengikutsertakan peserta didik berkebutuhan khusus untuk mengikuti kurikulum reguler sama seperti kawan-kawan lainnya di dalam kelas yang sama.

b.     Model kurikulum reguler dengan modifikasi, yaitu kurikulum yang dimodifikasi oleh guru pada strategi pembelajaran, jenis penilaian, maupun pada program tambahan lainnya dengan tetap mengacu pada kebutuhan peserta didik berkebutuhan khusus. Di dalam model ini bisa terdapat siswa berkebutuhan khusus yang memiliki program pembelajaran individual (PPI).

c.      Model kurikulum program pembelajaran individual (PPI) yaitu kurikulum yang dipersiapkan guru program PPI yang dikembangkan bersama tim pengembang yang melibatkan guru kelas, guru pendidikan khusus, kepala sekolah, orang tua, dan tenaga ahli lain yang terkait. Kurikulum PPI atau dalam bahasa Inggris Individualized Education Program (IEP) merupakan karakteristik paling kentara dari pendidikan inklusif. Konsep pendidikan inklusif yang berprinsip adanya persamaan mensyaratkan adanya penyesuaian model pembelajaran yang tanggap terhadap perbedaan individu. Maka PPI atau IEP menjadi hal yang perlu mendapat penekanan lebih.

Model pembelajaran bagi anak berkebutuhan khusus harus memperhatikan prinsip umum dan prinsip khusus. Prinsip umum pembelajaran meliputi motivasi, konteks, keterarahan, hubungan sosial, belajar sambil bekerja, individualisasi, menemukan, dan prinsip memecahkan masalah. Prinsip umum ini dijalankan ketika anak berkebutuhan khusus belajar bersama-sama dengan anak reguler dalam satu kelas. Baik anak reguler maupun anak berkebutuhan khusus mendapatkan program pembelajaran yang sama. Prinsip khusus disesuaikan dengan karakteristik masing-masing peserta didik berkebutuhan khusus. Prinsip khusus ini dijalankan ketika peserta didik berkebutuhan khusus membutuhkan pembelajaran individual melalui program pembelajaran individual (PPI).

III. PEMBAHASAN

Setiap anak yang lahir di dunia khususnya di Negara Republik Indonesia berhak mendapatkan pendidikan di sekolah yang berstandar baik, tidak terkecuali anak berkebutuhan khusus (ABK) dan berbakat istimewa yang jumlahnya tidak sedikit. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) dalam situs http://pk.kemdikbud.go.id/2019/03/15/sekolah-inklusi-dan-pembangunan-slb-dukung-pendidikan-inklusi/, jumlah anak berkebutuhan khusus (ABK) di Indonesia mencapai angka 1,6 juta anak. Salah satu upaya yang dilakukan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) untuk memberikan akses pendidikan kepada mereka adalah dengan membangun sekolah baru, yaitu Sekolah Luar Biasa (SLB), dan mendorong tumbuhnya sekolah inklusi di daerah-daerah. 

Direktur Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah (Dirjen Dikdasmen) Hamid Muhammad dalam situs http://pk.kemdikbud.go.id/2019/03/15/sekolah-inklusi-dan-pembangunan-slb-dukung-pendidikan-inklusi/ menuturkan dari 514 kabupaten/kota di seluruh tanah air, masih terdapat 62 kabupaten/kota yang memiliki SLB. Saat ini, katanya, jumlah anak berkebutuhan khusus yang sudah mendapat layanan pendidikan baru mencapai  angka 18 persen. “Kita masih harus bekerja keras lagi, masih ada 82 persen (anak berkebutuhan khusus) yang harus kita layani”.

Kehadiran pendidikan inklusi perlu mendapat perhatian lebih. Dengan hadirnya pendidikan inklusi diharapkan dapat memberikan kesempatan anak berkebutuhan khusus untuk mendapatkan haknya pendidikan. Oleh karena itu, membangun kepercayaan dan partisipasi masyarakat, merupakan tantangan mendasar guna mewujudkan pendidikan inklusif. Cara pandang masyarakat terhadap anak berkebutuhan khusus (ABK) harus diubah. Selama ini ABK masih diperlakukan diskriminatif. “jadi yang perlu dibangun dalam satu kesepahaman dan kesepakatan  bersama bahwa anak berkebutuhan khusus itupun perlu dilayani layaknya orang normal”, kata Dr. Musjafak Assjari, M.Pd. dari Kemendikbud di Medan, Sabtu (10/10/2015) dalam situs https://www.google.com/search?q=Dr.+Musjafak+Assjari%2C+M.Pd.+dari+Kemendikbud+di+Medan&oq=Dr.+Musjafak+Assjari%2C+M.Pd.+dari+Kemendikbud+di+Medan&aqs=chrome..69i57.25637j0j4&client=ms-android-samsung&sourceid=chrome-mobile&ie=UTF-8.

Pendidikan inklusif tidaklah sekadar menempatkan peserta didik berkelainan secara fisik dalam kelas atau sekolah reguler, dan bukan pula sekadar memasukkan anak berkebutuhan khusus sebanyak mungkin dalam lingkungan belajar peserta didik normal. Lebih dari itu, pendidikan inklusif berkaitan dengan cara guru dan peserta didik yang normal menyambut peserta didik dalam sekolah dan secara langsung mengenali nilai-nilai keanekaragaman peserta didik.

          Dengan adanya pendidikan inklusi kita dapat mengajarkan kepada siswa tentang ilmu sosial, tentang perbedaan, kebersamaan, dan meningkatkan empati bagi anak-anak yang normal. Oleh karena itu akan lebih baik ketika setiap sekolah reguler menerapkan pendidikan inklusi sehingga semua anak yang berkebutuhan khusus tak perlu bersekolah di sekolah luar biasa. Dan para ABK bisa belajar bersama anak normal usia sebayanya di sekolah yang terdekat dengan tempat tinggalnya.

          Menyelenggarakan sekolah inklusi tidak mudah karena membutuhkan kesadaran dan dukungan dari berbagai pihak. Pertama sekolah. Tidak cukup niat baik saja, kepala sekolah harus juga menyediakan guru khusus, dan memberikan pelatihan kepada guru kelas dan guru bidang studi. Demikian juga penyedian sarana dan prasarana sekolah yang ramah ABK dan berbakat khusus. Jika tidak serius merencanakannya, sekolah inklusi hanya akan menjadi status, tetapi praktik pendidikannya tidak memberikan dampak positif bagi anak-anak. Kedua, orang tua. Dukungan orang tua yang memiliki anak berkebutuhan khusus (ABK) sangat penting untuk menyekolahkan anaknya di sekolah inklusi, berbaur dengan anak-anak normal.

Dalam praktiknya, konsep pendidikan inklusif yang digadang-gadang mampu memberikan semua kebutuhan terkait pendidikan pada semua anak tanpa terkecuali itu menemui berbagai macam kendala di antaranya kurang memadainya kurikulum pendidikan berbasis inklusi sehingga pendidikan inklusif lebih sering hanya menjadi formalitas dan rendahnya kualitas pengajar yang menyebabkan tidak maksimalnya penerapan pendidikan inklusif di sekolah-sekolah umum.

           Dalam mewujudkan pendidikan inklusif secara optimal, guru di sekolah reguler perlu dibekali berbagai pengetahuan tentang anak berkebutuhan khusus dan pendidikan inklusi lewat pelatihan, seminar, dan sosialisasi. Di antaranya mengetahui siapa dan bagaimana anak berkebutuhan khusus serta karakteristiknya. Dengan adanya pengetahuan tersebut diharapkan guru mampu melakukan identifikasi, peserta didik di sekolah, maupun di masyarakat. Semakin berkompetennya tenaga pendidik, maka diharapkan semakin baik kualitas pelayanan yang diberikan kepada peserta didik sehingga peserta didik akan terjamin terlebih pada penyelenggaraan pendidikan inklusif. Tenaga pendidik khususnya guru yang mengajar di sekolah inklusi harus tahu bahwa keadaan peserta didik itu berbeda-beda dalam hal kecerdasan maupun fisik. Dengan demikian, semoga semakin banyak ABK yang terlayani pendidikannya.

IV. PENUTUP

A.  Kesimpulan

Pendidikan yang berkualitas pada dasarnya adalah milik semua orang, tanpa melihat kaya atau miskin, tua muda, bahkan orang yang normal dan orang yang berkebutuhan khusus. Sehingga pendidikan dapat dinikmati oleh semua orang tanpa terkecuali. Inti dari pendidikan inklusi adalah hak asasi manusia atas pendidikan. Suatu  konsekuensi  logis  dari  hak  ini  adalah semua anak mempunyai hak untuk menerima pendidikan yang tidak mendiskriminasikan  dengan  kecacatan,  etnis,  agama,  bahasa,  jenis  kelamin, kemampuan,  dan  lain-lain.

B. Saran

Dalam upaya peningkatan pengimplementasian pendidikan inklusi di Indonesia maka melalui tulisan ini disarankan:

1.    Bagi sekolah agar dapat mempertahankan dan meningkatkan pelaksanaan sekolah inklusi yang sudah berjalan demi terwujudnya pendidikan yang merata.

2.    Bagi orang tua yang memiliki siswa berkebutuhan khusus agar lebih memperhatikan perkembangan anak baik akademik maupun non akademik.

3.    Bagi pemerintah agar lebih memperhatikan program pendidikan inklusi supaya para ABK mendapatkan haknya secara optimal.

 


 

DAFTAR PUSTAKA

 

             (Online). (file:///D:/DOWNLOAD/bab%202%20-NIM%2008101241028.pdf. diakses 24 September 2019).

            (Online). (file:///D:/DOWNLOAD/jipptumg--achsyaifud-2381-2-(15)bab-2.pdf. diakses 24 September 2019).

            2014. Tujuan dan Landasan Pendidikan Inklusi (Online). (http://izzaucon.blogspot.com/2014/06/tujuan-dan-landasan-pendidikan-inklusi.html?m=1). diakses 24 September 2019).

            2019. Sekolah Inklusi dan Pembangunan SLB Dukung Pendidikan Inklusi (Online). http://pk.kemdikbud.go.id/2019/03/15/sekolah-inklusi-dan-pembangunan-slb-dukung-pendidikan-inklusi/. diakses 24 September 2019).

Anindya Purnama. 2014. Sekolah Inklusi Solusi bagi Kualitas Pendidikan ABK  (Online). (https://www.google.com/amp/s/www.kompasiana.com/amp/anin.rianto/sekolah-inklusi-dan-abk_54f6c350a33311c55c8b48ae. Diakses 24 September 2019).

Kabar Medan.com. 2015. Masyarakat Harus Dukung Pendidikan Inklusif di Sumut  (Online). (https://www.google.com/search?q=Dr.+Musjafak+Assjari%2C+M.Pd.+dari+Kemendikbud+di+Medan&oq=Dr.+Musjafak+Assjari%2C+M.Pd.+dari+Kemendikbud+di+Medan&aqs=chrome..69i57.25637j0j4&client=ms-android-samsung&sourceid=chrome-mobile&ie=UTF-8. diakses 24 September 2019).

Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No 70 Tahun 2009.

 

 


0 komentar:

Posting Komentar